Senin, 20 April 2009

Bintang Bulan Melintang

Bintang? Kemana perginya engkau? Disini kusendiri terpaku pada sebuah titik terang yang tak sampai ku pegang. Tak sanggup mengerti semua yang terjadi dan perlahan mulai menggrogoti. Sunyi, betapa hampa jiwaku, hanya ada goresan luka dihati dan pandangan mata menatap bulan Purnama yang sesekali membuang wajahnya dariku. Tapi malam ini istimewa, tak ada halang melintang. Kesampatan ini bagus sekali, kondisi ini seharusnya diabadikan dengan bintang dan bulan yang melintang didepanku. Sayang sekali hampa terasa menyayat luka dihati, tak satupun alat peraga yang ada di depan mataku. Sepatu sobek, baju bekas atau hanya kaus kaki yang baunya sangat menyengat selalu temani malam ku.
Pagi tiba, burung hilir mudik tak karuan di depan jendela yang hampir rubuh. Lumut mulai merayap lagi menempati dan menelusuri setiap tembok yang rupanya seperti kain serbet. Makan tidak enak tidurpun tak nyenyak. Siang bolong ku berangkat menuju tempat beribu uangku bernaung. Tiba – tiba terdengar suara yang sangat asing bagiku. “Anak muda, kalau ingin ke desa citarum lewat mana ya?” tersengar suara pria setengah baya yang sepertinya dilanda kebingungan yang sudah menaunginya pagi buta. “Oh, kearah sana pak, lewati saja jembatan itu, kira – kira satu kilo meter akan sampai disebuah gapura hampir reot di dekat Balai desa.” Sambil menunjuk arah barat aku memberi tahu bapak tua yang sudah bau tanah itu. “Terima kasih nak, ini ku berikan kau sebungkus roti untuk rasa terima kasih ku!” ia tersenyum simpul padaku yang heran melihat tingkahnya yang tak karuan. “Wah, kelihatannya roti ini enak sekali.” Ku ambil secepat kilat roti dari tangan pak tua itu, sebelum ia berubah pikiran.
Sore mulai menghiasi desa kecilku, ku beranjak dari pelantaran desa yang sesak dengan sampah yang bertaburan. Seharian ku telah memilah – milah sampah yang bagaikan timbunan milyaran uang yang seharusnya diperebutkan agar uang itu habis dan tak menjejali desa lagi. Ku bertanya kepada seseorang yang berhasil mengais milyaran uang itu dan sekarang menjadi orang terkaya di desaku.
“Hei kau tuan kaya, bagaimana sebenarnya kau bisa seperti sekarang ini?” Ku bertanya mencari segelintir informasi barangkali dapat merubah hidupku yang penuh dengan hal yang tak biasa bagi para saudagar kaya.
“O alla, itu to, gampang saja, kau tinggal ubah semua sampah yang ada dengan pikiranmu!” sambil menunjuk sampah – sampah yang mulai menguasai pelantaran desa kami.”
“Apa, dengan pikiran aku bisa mengubah sampah menjadi timbunan uang?” mataku terbelalak melihat mulutnya yang komat-kamit memberi tahu hal yang asing ditelingaku.
“hei anak muda bau comberan, kau ini bagaimana, makanya kalau kau punya otak manfaatkan dengan baik, jangan kau hanya membayangkan kekayaan dengan hayalan konyolmu itu.” Ia menepuk bahuku sambil berkata “ kau ini masih anak ingusan, jadi jangan kau sekali – kali berfikir kekayaan.”Ia berkata bagaikan beribu-ribu volt aliran listrik yang menyambar tubuhku sampai gosong.
Tuan kaya itu perlahan meninggalkan dan menjauh dari tubuhku yang mulai lemas karena belum sebutur nasi pun masuk ke dalam perutku. Aku beranjak dari pelantaran pasar dan tiba – tiba nafas malam mulai menyelimuti desa, dingin menusuk kalbuku betapa perihnya ulu hatiku. Penderiaanku tak berakhir juga. Tetesan air hujan mulai menyentuh permukaan kulitku dan terasa dingin dan betapa dinginnya malam yang kelam bagaikan ditelan hitam. Sekian lama kumenanti redanya tetesan jutaan air gratis, dan tak disangka, setitik cahaya muncul menerobos gelapnya lingkaran hitam yang mengelilingi diriku. Setitik cahaya itu seakan menerangi jalanku. Kaget bukan kepalang sesosok cahaya besar berkata dan bertanya kepadaku.
“Hei kau pemuda bau comberan, malang benar nasipmu hidup dalan cengkraman kemiskinan.?”Bulan itu tertawa terbahak – bahak bukan kepalang melihatku sendiri diambang kehinaan yang tak sanggup lagi kunetralkan dengan cara apapun.
“Diam kau bulan, tak seharusnya kau berkata padaku yang kuat ini.”Aku berteriak membela diriku yang mulai masuk dalam jurang kenistaan.
“Hahahaha, memang sejauh apa kuatmu itu? paling – paling kau hanya bisa mengais sampah – sampah jalanan untuk menyambung hidupmu.” Bisikan bulan itu sungguh menyayat hatiku.
“Aku kuat, aku kuat, aku kuat untuk menghidupiku, aku kuat untuk mencari arti hidupku, dan aku kuat untuk segala hal dalam hidupku. Dari pada kau bulan, yang bisanya bertengger di langit yang mulai benci padamu. Dan sekarang aku minta kau diam!” Nafasku tersengal hebat seperti tersumbat batu kali yang terlempar masuk ke paru – paruku.
Bulan itu terus menertawaiku dengan suaranya yang soak seperti mesin diesel karatan. Aku tertegun sendiri, sunyi sepi menaungi tubuhku. Mataku melotot dan kupingku melebar ketika ku mendengar suara merdu berbisik ditelingaku dan berkata
“Jangan sesekali kau menyerah dengan hidupmu, telusuri misteri hidup dengan pikiran dan prilakumu!”Bintang menghiasi ku dengan senyuman manisnya.
Ku tersadar, jika ku harus mencari apa sebenarnya jalan hidup yang Tuhan gariskan pada ku. Aku tersenyum seperti orang gila, dan bertingkah layaknya kera yang girang mendapat pisang digenggamannya. Ku mulai beranjak dan menelusuri jalan setapak yang menghubungkan ruang 3x3 yang rupanya seperti kain serbet yang tak tersentuh air bertahun-tahun. Kuratapi rumah kumuhku dan kuberjalan masuk melewati pintu yang bisa saja menjatuhiku dengan badannya yang dipenuhi rayap karena umurnya yang sudah tua. Ku berjalan perlahan dengan tempo irama 80. Dalam hatiku bertanya “Sungguh malang nasib kamar kain sebetku ini.” ku terharu dan berlinang air mata tak sanggup melihat betapa hancurnya kamar yang mungkin akan kudiami sepanjang umurku. Bayangan gilaku kambuh. Aku merasa ada yang berbicara tepat didepanku. “Hei anak muda sendirian, ku tahu apa yang kau pikirkan sekarang ini, dengan tatapan mata bulatmu aku bisa menyimpulkan kau berfikir tentang badanku yang seperti kain serbet.” Tembok itu berbicara dengan gagahnya seakan dia yang tahu segalanya. Mulutku menganga dan mataku rasanya hampir lepas. Ku terbangun dari tidurku. “Oh, ternyata yang tadi hanya sebuah mimpi.” Aku melihat sekeliling kamarku, dan terkejut mendengar sebuah kata “Hei, kau itu bukan sedang bermimpi, ini nyata wahai pemuda bau comberan.” Tembok itu berkata dengan lantangnya. Aku terdiam menyepi dan seketika dorongan kuat dalam batinku untuk berkata “Tidaakkk” dengan kerasnya.
Hidupku mulai berjalan seiring dengan waktu yang berganti detik demi detik. Ku tak sanggup lagi menafsirkan jalan hidupku dan segala yang kulakukan hari – hari berikutnya. Sungguh berat kenyataan hidupku tak sanggup lagi ku jalani semua ini. Ku hanya berharap semoga keajaiban akan datang menjemputku.

Carita Kehidupan

Hidup tak selalu memberi kebahagiaan, kadang kala hidup hanya sebuah sandiwara. Apabila berusaha, hidup itu akan takhluk pada kita, tapi semua tak selalu demikian. Banyak orang berusaha tapi hanya sengsara yang didapatinya. Itulah yang dirasakan beribu anak jalanan di dunia ini. Hanya cemohan, dan tindasan dari orang – orang tak berhati membuat anak jalanan itu merasa tak dianggap hanya sebuah angin lalu tang tak tentu arahnya.
Lintang, anak jalanan yang merasa hidupnya di renggut oleh waktu untuk menjadi sebuah hiasan jalanan yang penuh dengan misteri. Hidupnya selalu tak beruntung. Lintang adalah anak yang selalu ceria walaupun hidupna tak beruntung, tinggal disebuah bengunan sisa peninggalan Belanda, makan seadanya, dan selalu bekerja penuh keikhlasan
Ikhsan hidup dengan ayahnya dan dua orang adiknya, Bintang dan Bulan. Dari kecil Lintang sudah ditinggal Ibunya, karena sakit dan tak terobati. Berusaha, berusaha dan terus berusaha untuk mengapai hidup yang lebih baik, menjaga keluarga, selalu bahagia itulah hal yang selalu membayangi hidupnya. Pak Bahri tak bisa lagi membiayai hidup ketiga anaknya, karena tangan sebelah kirinya tak mempu digerakkan akibat kejadian tabrak lari yang ia alami ketika mengais sampah di sebuah jalan raya. Dan pada saat itulah Lintang menggantikannya untuk memberi nafkah keluarga yang penuh dengan kekurangan itu.
Berjalan di jalanan kota yang besar, mengais – ngais sampah yang layak dijual, mengamen dari bus ke bus jurusan antar kota selalu ia lakoni dangan lapang dada dan penuh kebahadiaan seakan pekerjaan itu yang selalu menemaninya dalam susah dan senang
Bintang dan Bulan, adik Lintang yang selalu berusaha membantu, tapi yang bisa mereka lakukan hanya menadahkan tangan dari rumah - kerumah menunggu keajaiban dan uang akan datang padanya. Berusaha dan selalu berusaha dan menanti keajaiban adalah harapan terbesar dua anak menusia yang dilanda kekejaman dunia.
Hujan mulai turun, Bulan dan Bintang bergegas menuju sebuah gubuk yang kecil guna berteduh menunggu hujan akan berhenti untuk melanjutkan tugas yang wajib dijalankannya untuk brtahan hidup.
Menunggu dengan cemasnya, Pak Bahri berusaha tegar dan selalu berharap ketiga anaknya hidup bahagia. Setiap hari panjatan doa selalu ia ucapkan mengingat dirinya tak bisa memberi yang terbaik pada buah hatinya itu. Oh, Tuhan dengarkan keluhan hambamu yang tak berdaya ini, berikan kebahagiaan ke tiga anakku itu Tuhan.”permohonan tulus Pak Bahri. Semua yang ia minta hanya untuk kebahagiaan anaknya yang menanggung beban atas dirinya.
Angin mulai berhembus, malam mulai menghantui, lolongan anjing liar merasuk seakan menjerit. Lintang tak kuasa meliahat ayahnya yang tergeletak lemah diatas tikar yang dingin dibawah atap rumah yang seakan jatuh ingin meninpa semua yang ada didalamnya. “Betapa sulitnya hidup ini ayah, aku tak mengerti kenapa semua ini terjadi?” Lintang bertanya pada ayahnya, sambil mengeluarkan air mata. “Kau tahu nak, Tuhan tidak akan memberi ujian diluar kemampuan hambanya.Maka tabahlah kita menjalani cobaan ini.” Saran Pak Bahri mencoba menjelaskan. Lintang hanya tersenyum simpul mendengar nasehat ayahnya. “Tapi bagaimana nasip kita ini yah, apakah Lintang, Bulan dan Bintang harus bekerja seperti ini?” tanya Bulan gelisah. “Maafkan ayah Bulan, ayah tak bisa memberikan
Hidup yang berarti pada kalian semua, Ayah juga tak menginginkan hidup seperti ini. Melihat kalian kerja banting tulang di jalanan yang penuh dengan kekejaman. Tapi kita hanya bisa bersyukur pada Tuhan karena kita masih bisa merasakan hidup di dunia ini.” Tetesan air mata Pak Bahri memandangi ketiga anaknya yang kurus, dan legam di bakar matahari.
Sulit, sulit sekali memaknai hidup diantara kebahagiaan dan kesengsaraan. Selalu mencoba mencari dan menelusuri cobaan ini hingga tak mampu lagi berjalan bernafas dan melihat.“Wah lihat, ada uang lima ribu di rumput itu.”Bulan memberi tahu Bintang dengan riangnya. “Ayo kita kesana, cepat sebelum uangnya terbang dihempas angin.”Sambil berlari Bintang berusaha menggandeng adiknya itu. “Syukur, beruntung sekali kita hari ini kak, wah kita akan makan enak hari ini.”Bulan senang bukan kepalang karena terlalu senang.
“Lintang...., lihat kita bawa apa!”Bulan berteriak riang memamerkan empat bungkusaan nasi. Bulan dan Bintang berlari menghampiri Lintang yang sedang menghitung uang hasil ngamen dari bus antar kota. “Lin, kita makan enak sekarang. Lihat aku bawa apa!” Bintang menunjuk bungkusan hitam berisi nasi yang hanya berlaukkan tahu, tempe, dan telur saja. Sungguh senang bukan kepalang kakak beradik itu, walaupun dengan nasi bungkus yang hanya berlauk sederhana itu. “Ayo kita pulang! Wah pasti ayah terkejut melihat ini.”
Mereka bergegas menuju sebuah gubuk reot, tempat mereka beristirahat. “Anakku, dimana kau dapat uang untuk membeli nasi ini, apa kalian mencuri nak?” Ayah bertanya perlahan, karena terkejut melihat bungkusan nasi. “Tidak Yah, kami tidak mencuri tapi kami membeli nasi bungkus ini dengan uang yang kami temui di jalan.” Bintang mencoba memberi tahu ayahnya. Tetesan air mata kembali membasahi pipi tua ayahnya, karena terharu dengan semua yang dirasakan sekarang ini.
Malam tiba Bintang dan Pak Bahri duduk bersandar di sebuah dinding bambu sambil melihat langit yang saat itu terang tak seperti biasanya.“Ayah, mengapa aku diberi nama Bintang?” Bintang mencoba menelusuri ruang sempit asal muasal namanya itu. “Saat itu, ibumu sedang hamil tua, Ayah dan Ibu duduk disebuah bangku usang di tangah sawah. Kita berdua memandangi langit yang betapa eloknya waktu itu. Tak disengaja kami melihat sebuah bintang yang sangat terang. Kami erpaku melihat keindahan bintang itu. Lalu Ibumu berbisi “Yah, bangaimana anak yang ada dalam janinku ini, kita beri nama Bintang, agar nantinya ia bisa menjadikan dirinya inah dan selalu dipuji banyak orang?”Ayah tersipu dengan ap yang dikatakan Ibumu itu nak.” Ayah membelai – belai anak yang ia harapkan dapat menjadi contoh dan selalu dipuji banyak orang. “Tapi, mengapa hidupku tak seindah namaku ayah?” Bintang bertanya penuh keingin tahuan. “Begini anakku, nama bukanlah hal yang dapay mempengaruhi hidup kita. Tapi, Tuhanlah yang menenukan hidup,
Kita, usaha dan terus berusaha, menjauhi larangannya, menaati segala aturannya, itulah yang dapat membuat hidup kita bahagia. Dan tak lupa Bintang harus berdoa kepada Tuhan, karena Tuhan akan selalu membantu makhluknya yang dilanda kesusahan.!”Saran ayah yang seakan menyakinkan anaknya
Dibukalah sebuah kotak peninggalan Istrinya yang berisi sepucuk surat untuk ketiga anaknya yang diulis sebelum ajal menjemputnya. Lalu, dibacalah surai yang selama ini disimpan oleh sang ayah.

Kepada anakku : Lintang, Bintang dan Bulan.
Cayaha selalu menyinari setiap langkah kakimu, memberi petunjuk jalan kalian menuju sebuah kebahagiaan. Walaupun banyak rintangan menghalang bagai ranjau di tengah peperangan batin dan fisik.
Setiap langkah selalu mengalir darahku dikakimu. Anakku yang tersayang, jalani hidup ini dengan ikhlas dan jagalah Ayahmu sampai akhir hayatnya. Bahagiakan beliau walaupu Ibu tak lagi disampingnya.
Ingatlah anakku, hidup adalah misteri yang harus dipecahkan, jagalah amanat ibumu ini dan selalu kau ingat dimanapun kau berada

Pagi pun tiba, sinar mentari menembus atap gubuk nan lara itu, Burung berkicau bernyanyi syahdu. Ativitas kembali berjalan seperti biasa. Di depan sebuah sekolah Bintang berhenti. “Apakah ini yang diharapkan mendiang Ibuku?” Bintang bertanya dalam hatinya. Bintang memandangi gedung sekolah itu. Seakan ingin masuk dan menggeparkan seluruh sekolah bahwa ialah murid baru disekolah itu. Tapi kenyataannya berbeda, ia murung dan air mata mulai membasahi pipinya. Bintang berusaha tegar bahwa kenyataan ini yang membuat hidupnya tak seindah namanya dan tak sebagus harapan Ibunya tentang sebuah nama yang seharusnya menghantarkan Bintang dalam kesuksesan hidup. Tapi, apa mau dikata, Tuhan berkehendak lain dengan segala kekuasaan darinya.
Hidup terasa hampa, tak tenang jadinya melangkah ke arah yang lebih baik untuk menggapai kelayakan dalam hidup.

hotel

Aku tertegun, melongo, melotot ketika mendengar dan melihat pondasi cintaku yang telah ku bangun selama setahun ini, tiba – tba ambruk berhamburan jatuh ke alas kehancuran. Aku tak percaya dengan apa yang sedang terjadi, rasanya baru tadi aku kenal dia, eh sekarang uga ga ada hubungan yang mengikat lagi antara kita berdua. Sungguh aku tak tau apa yang aku rasa antara sedih dan bahagia.
Caraka itulah panggilan akrabku di salah satu sekolah paling terkenal di sebuah pulau kecil yang terapi pulau Jawa dan Lombok. Senang sekali rasanya bias kumpul dengan sohib – sohibku dibali setelah beberapa minggu ku pergi ke Australia untuk mengisi liburan kenaikan kelas. Uh, sunngguh melelahkan perjalanan ku, tapi beribu kebahagiaan yang kudapatkan disana, lebih dari yang kuharapkan. Hari senin, itulah hari pertamaku menginjakkan kaki di tanah kangguru, ku terdiam sejenak seakan tak percaya bahwa bias berkunju8ng ke benoa yang eksotis ini. Bsangat beruntung aku dapat berkunjung kesana karena undian berhadiah yang kudapatka selama berbulan – bulan ku coba tanpa henti hanya untuk mendapatkan hadiah utama liburan ke Australia untuk 10 orang pemenang. Ku mulai pertualanganku disana dengan oergi ke sebuah Hotel bintang lima yang harganya bisa mencapai satu tahun uang sakuku.
“wow,” itulah kata pertama ka keluar dari mulutku, sungguh besar hotel yang akan kudiami ini